top of page

Yang Aku Pelajari Dari Gagal Nyaleg: Panduan untuk Politisi Pemula (Part 1)


Dengan Niluh Djelantik, desainer sepatu internasional yang juga Ketua DPP Partai NasDem Bidang UMKM, saat Peresmian NasDem Tower, 2022.


Semenjak aku jadi Ketua DPP Partai NasDem di Oktober 2019, aku ketemu banyak anak muda yang menanyakan do's and don'ts di politik. Apa yang boleh dan apa yang tidak. Rata-rata teman-teman pemula yang belum tahu mau ngapain di politik.


Aku dulu juga begitu. Buta! Ga tahu mau ngapain. Tapi aku go with the flow, jalanin aja dulu. Ga ngerti apa-apa juga. Kenal siapa-siapa juga tidak. Tidak satupun petinggi negara ini yang aku kenal, apalagi kenal sama aku.

Sekarang? Yah lumayan, paling tidak kalau dihitung jari, ada pejabat negara yang tahu diriku.

Tidak pernah menyangka juga akan sampai sini.


Jadi, aku akan menggunakan website aku buat nulis blog berisi kisah-kisah di balik layar. Ada yang senang, ada yang sedih. Ada yang bombastis, ada juga yang naas. Siapa tahu, pembaca bisa mengambil manfaat positif dari kisah ini.


Gagal memang menyakitkan. Tapi aku belajar banyak. Jadi kenapa tidak aku share hikmah apa yang kupetik di jalan.



Mari Kita Mulai...

Umurku 19 tahun waktu masuk politik di tahun 2011. Aku tidak cupu-cupu amat, tapi aku lugu. Saat itu aku naif. Politik yang kutahu hanya Ilmu Politik yang kupelajari di Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik Universitas Kairo. Maklum, masih mahasiswa. Tapi, aku bersyukur sudah belajar ilmu politik duluan di kampus, jadi ga terlalu uring-uringan waktu melihat drama politik sedang berlangsung.


Aku masuk politik karena ajakan seorang atasan di kantor kerjaku dulu. Saat itu Partai NasDem baru dibangun dan dalam proses verifikasi KPU yang pertama. Waktu itu aku sedang Tingkat III kuliah (di Indonesia sama dengan Semester 6) dan sedang liburan musim panas di Jakarta. Mumpung libur, aku magang di kantor pusat Metro TV. Saat itulah aku diajak masuk partai. Aku tidak banyak tanya waktu itu, aku iyakan saja. Pikirku, toh aku sudah belajar pendidikan politik di kampus, mendengar organisasi kepartaian bukanlah hal yang asing bagiku.


Tidak berapa lama, aku diajak ke Sekretariat DPP Partai NasDem saat itu di bilangan Setia Budi, Jakarta Selatan, untuk bertemu petinggi katanya. Rupanya aku mau diwawancarai kenapa mau masuk NasDem. Agak bingung sih waktu itu. “Bukannya aku yang diajak ya? Kok malah aku yang ditanyain,” pikirku dalam hati. Tapi aku jawab, “Saya rasa NasDem adalah partai yang besar. Saya mau ikut jadi bagiannya.”

Terus ditanya lagi, tahu NasDem dari mana. Kujawab, “Benderanya banyak berkibar di mana-mana. Iklannya juga ada di TV.” Kalau kuingat saat itu, rasanya mau ketawa sendiri. Kenapa Lathifa masuk NasDem? Soalnya benderanya banyak di mana-mana. Soooo childish, but it’s true. Mana tahu mau jawab apa. Aku yang diajak, kok aku yang ditanya, rasaku geli.


Lalu, aku diminta jadi pengurus NasDem di luar negeri. Kedengarannya keren. Tapi aku tidak tahu tanggung jawab apa yang menanti untuk menghantui. Akhirnya momen random itu selesai dengan aku diberi buku-buku partai. Ada buku saku AD/ART dan Buku Putih Restorasi. Di lift turun, aku bilang ke orang yang mengajakku ke partai, “Saya rasa saya sudah belajar teori politiknya. Mungkin ini bagian dari praktiknya.”


Mempelajari Partai

Beberapa minggu setelahnya, aku kembali ke Kairo, Mesir. Buku-buku partai itu tidak pernah sempat kubaca di Jakarta, jadi aku bawa saja. Di suatu pagi yang cerah, jadwa kuliahku lagi longgar. Jadi buku-buku itu kubawa di tas untuk kubaca nanti di jeda kelas. Aku ingat betul saat itu aku duduk di depan kampus. Di tempat ini, tokoh-tokoh besar Arab, Afrika, dan Eropa banyak yang menimba ilmu dan meraih gelar. Banyak orang Mesir bilang, ini kampusnya para diplomat.


Dari sejarah, penerima Honorary Doctorate ada Nelson Mandela, Aktivis Amerika Jesse Louis Jackson, Presiden Italia Alessandro Pertini, Presiden Senegal Abdou Diouf, Presiden Zambia Kenneth Kaunda, Presiden Perancis Valery Giscard D'Estaing, dan masih banyak lagi.


Inilah tampak depan kampus S1-ku, Faculty of Economics and Political Science (FEPS) Cairo University, Mesir. Courtesy: Seham Gamal, 2020.

Angin sedang sepoi-sepoi musim gugur. Matahari tidak terlalu panas. Aku duduk bersila sambil membuka buku AD/ART Partai NasDem. Dari Manifesto Nasional Demokrat sampai lembar terakhir aku baca seksama. Aku takjub juga menemukan sebuah partai yang punya tujuan jangka panjang seperti ini. Dalam bukunya, NasDem dituliskan sebagai partai yang memiliki visi membuat Indonesia jadi negara maritim yang riil dengan ketahanan pangan dalam negeri. Dan sejak lama, memang aku rasa Indonesia harusnya seperti itu. Saat itu era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, aku menyukainya saja dari jauh. Tapi memang Indonesia tidak berasa kuat di maritim, padahal itu jelas-jelas modal dasar teritorial geografisnya. Belum lagi soal ketahanan pangan. Sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar ke empat di dunia. Ketahanan pangan dalam negeri itu harus banget. Coba kalau rakyat kelaparan semua, pasti goyang negaranya. Kusimpulkan, kurasa aku masuk ke partai yang benar.


Berhubung waktu itu aku diminta jadi pengurus, jadi tugas pertamaku adalah menyusun kepengurusan di Timur Tengah. Menjelang pemilu 2014, tentu suara pemilih di luar negeri menjadi sasaran. Maka, kepengurusan partai di luar negeri mulai dibangun. Lalu apa setelah jadi kepengurusan? Aku disarankan ada sekretariat. Berhubung disarankan untuk membuat proposal, aku mulai mencari apartemen disewakan di Kairo untuk sekretariat Partai NasDem. Setelah semua rancangan anggaran rampung, saat aku ke Jakarta, kuajukan ke pengurus DPP saat itu. Hasilnya? Ditolak.


Hahahaha.


Saat itu aku tidak mengerti. Intinya ditolak karena anggarannya besar. Tapi aku tidak benar-benar paham, di politik itu anggaran yang besar dan kecil itu yang seperti apa. Jadi, aku diam saja. Pengalaman.


Fast forward ke 2014, setelah kalah di pemilu legislatif, aku jadi lebih mengerti soal perhitungan suara berbanding biaya yang kita keluarkan selama kegiatan partai untuk operasional dan kampanye. Ini bukan "money politics" ya. Tapi lebih ke investasi eksistensi. Eksis di suatu wilayah, di top of mind orang, di hati, #eh?


Contohnya seperti ini, apabila (bukan hitungan sebenarnya dan hanya untuk perumpamaan):

Biaya 200 juta dibutuhkan untuk menghadirkan sekretariat di Kairo, Mesir, yang jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) 2.000 suara. Biaya tersebut hanya untuk sewa tempat sederhana satu tahun saja.

Dibandingkan dengan di DKI Jakarta misalnya, 2.000 suara ada di 5 Rukun Warga (RW). Dan uang 200 juta sudah bisa buat menghadirkan sekretariat sederhana ditambah berbagai macam kegiatan yang besar dan kecil. Ditambah lagi, dari 2.000 suara itu pun, belum tentu memilih si partai.


Cukup pelik pertimbangannya bukan?


Pelajarannya adalah bijaklah dalam menghitung investasi kita di politik, baik investasi uang, sosial, hingga kehadiran.

Tulisan kali ini lebih spesifik membahas tentang investasi uang. Berhubung banyak sekali anak muda yang khawatir tidak punya uang yang cukup untuk berpolitik. Pelit juga tidak boleh, tapi boros juga tak dianjurkan. Sweet spot-nya selalu yang royal nan arif.

Dalam hal ini, rumus dasarnya adalah jumlah suara yang yakin kamu bisa raih berbanding dengan investasi moneter yang sebaiknya kamu keluarkan. Mahal atau murah itu relatif. Ada atau tidak ada uang juga relatif. Yang betul-betul pasti hanyalah skala prioritas, kemana kamu mau mengalirkan dana yang kamu sanggupi di hati kecilmu.

:)


Sampai jumpa di Part 2.

Saat pembukaan Rapat Koordinasi Wilayah DPW Partai NasDem Jawa Tengah di Plataran Candi Prambanan, 2021.

lathifa-yogyakarta-s1_36.jpg

Haaii~ Makasih sudi mampir..

Ini sedikit tentang cerita kegiatanku.

Aku adalah perempuan kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, yang kini tinggal di Jakarta. Sekarang aku aktif di banyak kegiatan anak muda.

Let the posts
come to you.

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Instagram
  • YouTube
  • Twitter
  • TikTok
bottom of page